About me

Selasa, 17 Juli 2012

kecil-dewasa


Anak kecil selalu punya cara tersendiri dalam menghadapi dunia dan permasalahannya. Kadang aku pernah merasa ingin kembali lagi ke masa kecil dengan kepolosan yang teramat sangat dalam bertanya dan menjawab segala permasalahan yang ada. Kadang menjadi anak kecil lebih terasa menyenangkan dalam berekspresi, bersikap, dan berpikir. Selalu ada pemakluman yang diberikan: “ah, namanya juga anak kecil. Biarin aja”. Lihat saja, saat senang mereka tertawa, saat sedih mereka menangis. Mereka adalah mereka dengan apa yang mereka rasakan.

Kadang orang dewasa dengan permasalahan yang lebih rumit atau memang dibuat rumit terlalu rumit sendiri dalam menghadapi permasalahan yang memang sudah rumit (?). Mereka harus tertawa saat batin terasa sakit. Mereka harus menyembunyikan kesedihan di tengah keramaian. Atau bisa jadi mereka harus bisa berekspresi sedih di tengah gejolak hati yang dilanda kesukacitaan. Begitupun dengan perasaan marah dan benci, harus bisa memilah kapan sebaiknya perasaan itu dimunculkan dan karena sebab apa. Tidak bisa sembarangan, karena tidak ada pemakluman untuk orang dewasa. Yah, begitulah orang dewasa. Kadang harus bisa menyembunyikan perasaan yang dirasakan.

Belajar dari Ummu Sulaim. Shahabiyah Rosulullah yang dengan lihainya menyembunyikan perasaan di hadapan sang suami ketika anaknya harus kembali kepada Sang Pencipta. Dengan sikap kedewasaannya, beliau tampilkan ekspresi wajah ketenangan dan kesenangan untuk menyambut kehadiran sang suami. Dengan sikap kedewasaannya, beliau hadirkan tutur kata yang menyenangkan dan menenangkan hati. Padahal anaknya baru saja meninggal.

Ah, bagaimanapun dewasa memang lebih indah dengan sikap, tutur, pikir, dan ekspresi yang harus disesuaikan dengan kondisi sekitar, bukan hanya pribadi semata.

Aku jadi tertawa sendiri melihat sekeliling. Anak kecil yang sedari tadi menangis karena tidak bisa membuka tutup botol air minum. Ada juga di seberang sana, anak kecil yang sedang berlari senang dan tertawa lebar mengejar balon yang ditiup dari busa sabun. Yah, mereka adalah mereka dengan apa yang mereka rasakan. Hmm.. damai sekali rasanya melihat mereka.

Tiba-tiba saja HP ku bergetar.
“Assalamu’alaikum. Teteh gimana kabarnya? Hapalannya udah berapa juz teh?”
Sebuah pesan singkat dari seorang keponakan yang berusia hampir 10 tahun. Aku tersenyum membacanya. Selalu pertanyaan itu yang ditanyakan. Aku memanggilnya Eneng. Ia sekolah di sebuah pesantren yang memang sehari-harinya diwajibkan untuk menghapal Al Quran. Ia selalu bertanya seperti itu, agar aku balik bertanya sudah berapa juz hapalannya. Dengan nada girang ia sebutkan banyaknya juz yang sudah ia hapal dan Alhamdulillah selalu bertambah saat pertanyaan itu dilontarkan. Kadang ia sesekali menelepon saat liburan untuk bermuroja’ah. Cara bicaranya yang cadel saat mengucapkan huruf ‘R’, membuatku berkali-berkali memotong bacaannya.
“itu kan ro berkasroh, dibacanya ri”
“iya teh, li”
Aku tertawa sendiri dibalik telepon genggamku.

Tiba-tiba juga aku teringat Mardhiyah dan Mutaqqin. Mereka adalah anak seorang Ustadz pemilik kosanku. Mardhiyah yang duduk di kelas 3 SD dan Mutaqqin yang duduk di kelas 1 SD, selalu mampir ke kamarku saat main ke kosan.
Dengan sikap yang manis sambil mengetuk pintu dan mengucap salam, mereka hadir dengan wajah polos menggemaskan.
“Teteh lagi apa? Pinjem laptop dong..”
Laptopku yang memang banyak menyimpan games seru, menjadi tujuan mereka main ke kamarku. Kadang mereka berjam-jam bermain sampai ayahnya memanggil mereka untuk pulang. Saat berjam-jam itu aku melakukan diskusi dengan mereka. Tentu saja diskusi anak-anak yang membuatku tertawa, terkejut, bahkan mengernyitkan dahi. Yang membuatku bangga dengan mereka adalah kebiasaan mereka dalam menunaikan sholat. Saat itu bedug magrib di masjid samping kosanku berbunyi. Seketika saja, kakak adik itu menghentikan permainannya dan langsung mengambil air wudhu.
“teteh, adzan. Kita sholat dulu ya”
“oh, iya dong..” kataku sambil mengucap Subhanallah.
Selesai sholat mereka tidak langsung melanjutkan permainan.
“teteh punya al quran ga? Kata sang kakak, Mardhiyah.
Aku meminjamkan Alquran terjemahan kepadanya dan kumpulan juz ‘amma kepada Mutaqqin (kadang Mutaqqin protes “yah kok Juz amma sih..”, “teteh Cuma punya Quran 2, satu yang kecil buat teteh satu lagi di pake ka Mardhiyah, mutaqqin juz ‘amma aja ya”. Ia hanya membalas senyum tanpa merengek sekalipun). Setelah selesai membaca Quran, barulah mereka melanjutkan permainan. Kata mereka, di rumah selalu seperti itu.
“Mau lagi ngapain aja, kalau adzan ya harus sholat dulu, terus ngaji”

Hmm.. saat ingat mereka, ada harapan besar untuk menjadikan anak-anak di Indonesia, bahkan di dunia mendapatkan pendidikan agama islam yang benar. Sholeh dan sholehah. Selalu sholat 5 waktu, rajin mengaji, dan mencintai Al Quran. Dan orang-orang dewasalah yang sangat berperan dalam hal ini. Kelak ketika anak kecil yang sholeh dan sholehah itu dewasa, akan banyak terbentuk orang-orang dewasa yang sholeh dan sholehah yang dapat berperan kembali membentuk anak kecil yang sholeh dan sholehah juga. Sehingga hanya orang-orang Mukmin yang sholeh dan sholehahlah yang ada di dunia ini. Aamiin.. insya Allah.

dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (HR. Bukhori)

2 komentar: