Matahari bersinar mematangkan waktu. Membunuh kesunyian yang tak pernah
bernapas lega. Ada sela asa yang tersisa. Timbul di hati. Mengeraskannya,
kadang meluluhkannya. Ingin berteriak. Percuma. Ingin bertindak. Tak bisa.
Aaaarrrggghh… berkali-kali berteriak Aaaarrgggghhh… sambil mengepalkan
tangan. Geram. Menghembuskan napas sepanjang-panjangnya. Aaarrrggghh..
lagi-lagi ber-Arrrggghh… Tentu saja hanya di dalam hati. Kadang-kadang melalui
ekspresi. Tak jarang berintonasi.
Seandainya bisa berteriak. Berceramah seperti seorang khatib yang
berkhutbah. Dengan semangat membara. Khusyuk dan didengarkan walaupun tetap
saja ada yang mengantuk. Atau berpidato seperti Presiden. Tak boleh ada yang
mengantuk apalagi tertidur, walalupun ada saja yang nakal sesekali buka sms.
Atau seperti seorang Guru. Medidik dengan kasih sayang walaupun selalu saja ada
yang membandel di kelas. Atau seperti Resepsionis. Atau seperti Reporter.
Seperti Tour Guide. Seperti Murobbi.
Seperti Sales. Seperti Pengacara.
Atau apapun. Seperti mereka yang memberi tahu suatu kebaikan. Tapi, tetap saja.
Sulit.
Bukan sulit. Hanya saja masalahnya di aku. Aku yang kadang hanya bisa
ber-Aaarrgghhh… kesal. Mengomel. Menceracau. Curhat. Nulis di blog. Update
status. Menangis. Atau hanya memendam dalam hati. Lagi-lagi
masalahnya di aku. Hanya bisa diam. Melihat. Mendengar. Sulit bertindak.
Aaaarrgghh… aku tahu masalahnya di aku.
Lihat saja disana. Oh bukan, disini. Di depan mata. Selaksa rasa
membuncah, mempertanyakan. Mengapa begini, mengapa begitu. Harusnya begini,
harusnya begitu.
Orang buang sampah sembarangan. Pengendara motor menerobos lampu merah.
Perokok dimana-mana. Pejabat korupsi. Penipuan. Pencurian. Pemerkosaan. Aaaarrggghhh….
Lagi-lagi ber-Aaaarrggghh.. itu terjadi di Indonesiaku, di Serangku, di
Bogorku. Adakah amalku untuk memperbaiki itu?
Lihat saja disana. Oh tidak, disini. Di depan mata. Remaja bau kencur
berdua-duaan. Kesal sekali melihatnya. Lebih kesal lagi, kadang aku hanya
lewat. Melirik. Tersenyum getir. Aaarrrgghh… kenapa hanya diam. Tidak bisakah
berceramah seperti Khatib. Berpidato seperti Presiden. Mendidik seperti Guru.
Untuk kesekian kalinya ber-Aaarrgghh… Rasanya ingin salto saja. Garuk-garuk tanah.
Guling-guling di pasir. Jedotin kepala ke tembok. Kesal kesal kesal. Aaarrgghh…
Jangan-jangan hanya di Indonesia, motor berani menerobos lampu merah
karena tidak ada polisi. Mungkin hanya di Bogor, angkot ngetem hingga
berjam-jam membuat macet. Bisa jadi hanya di Serang, orang yang sebulan makan
nasi putih saja dianggap bisa meramal masa depan. Atau jangan-jangan hanya di
Banten, satu keluarga secara turun temurun berusaha menguasai jabatan politik.
Mulai dari Pemimpin Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, RT, RW semuanya memiliki satu nasab yang
sama.
Aaarrrgghh.. aku kesal tak bisa berbuat apa-apa. Aku kesal dengan aku
yang belum bisa apa-apa.
Ingin rasanya mewujudkan realita kalau Bangsa Indonesia mayoritas
beragama Muslim. Atau julukan yang sudah sangat melekat: BOGOR KOTA BERIMAN -
SERANG KOTA BERTAKWA. Merealisasikannya dalam bentuk aksi nyata. Bukan skenario
atau behind the sccene-nya saja. Atau
hanya sekedar ocehan di meja bundar. Tentu
saja aku mencintai Indonesia dengan semua kemacetan lalu lintasnyanya. Cinta
Serang yang ‘gersang’. Cinta Bogor beserta angkot-angkotnya. Aku cinta tanah
airku. Aku peduli dengan negaraku. Bukan karena sekedar aku dilahirkan dan
dibesarkan di Indonesia. Jauh ada sebab lain membuatku cinta Indonesia. Sebab
Indonesia mayoritas Muslim yang harus Beriman dan Bertakwa. Sebab dunia ini harus
menyatu. Damai. Indah. Dan keindahan itu hanya ada pada satu Sumber.
Aku yakin Indonesia akan menjadi Negara besar yang sukses, adil,
berhasil, dan makmur. Karena apa? Karena selama ini Indonesia terlalu banyak
memiliki masalah yang sangat besar. Bahkan seorang Ustadz menjelakan analoginya
yang membuatku yakin dengan janji Allah “fainna ma’al ‘usriyusro” sesudah
kesulitan pasti ada kemudahan. Allah menggunakan kata “ma’a” yang menunjukkan
sebuah kesetaraan, antara kesulitan dan kemudahan. Bahkan Allah mengulanginya
dua kali, tetap menggunakan kata “ma’a” bukan “wa” (dan). Itu berarti Indonesia
yang selama ini diselimuti ujian dan masalah yang besar, kelak ia akan menjadi
Negara yang besar, sukses, berhasil, adil, dan makmur.
Indonesia Tersenyumlah. Janji Allah itu pasti. Mari mulai dari sini. Dari
hati. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar