Anak
kecil selalu punya cara tersendiri dalam menghadapi dunia dan permasalahannya.
Kadang aku pernah merasa ingin kembali lagi ke masa kecil dengan kepolosan yang
teramat sangat dalam bertanya dan menjawab segala permasalahan yang ada. Kadang
menjadi anak kecil lebih terasa menyenangkan dalam berekspresi, bersikap, dan
berpikir. Selalu ada pemakluman yang diberikan: “ah, namanya juga anak kecil.
Biarin aja”. Lihat saja, saat senang mereka tertawa, saat sedih mereka menangis.
Mereka adalah mereka dengan apa yang mereka rasakan.
Kadang
orang dewasa dengan permasalahan yang lebih rumit atau memang dibuat rumit
terlalu rumit sendiri dalam menghadapi permasalahan yang memang sudah rumit (?).
Mereka harus tertawa saat batin terasa sakit. Mereka harus menyembunyikan kesedihan
di tengah keramaian. Atau bisa jadi mereka harus bisa berekspresi sedih di
tengah gejolak hati yang dilanda kesukacitaan. Begitupun dengan perasaan marah
dan benci, harus bisa memilah kapan sebaiknya perasaan itu dimunculkan dan
karena sebab apa. Tidak bisa sembarangan, karena tidak ada pemakluman untuk
orang dewasa. Yah, begitulah orang dewasa. Kadang harus bisa menyembunyikan
perasaan yang dirasakan.
Belajar
dari Ummu Sulaim. Shahabiyah Rosulullah yang dengan lihainya menyembunyikan perasaan
di hadapan sang suami ketika anaknya harus kembali kepada Sang Pencipta. Dengan
sikap kedewasaannya, beliau tampilkan ekspresi wajah ketenangan dan kesenangan
untuk menyambut kehadiran sang suami. Dengan sikap kedewasaannya, beliau
hadirkan tutur kata yang menyenangkan dan menenangkan hati. Padahal anaknya
baru saja meninggal.
Ah,
bagaimanapun dewasa memang lebih indah dengan sikap, tutur, pikir, dan ekspresi
yang harus disesuaikan dengan kondisi sekitar, bukan hanya pribadi semata.
Aku
jadi tertawa sendiri melihat sekeliling. Anak kecil yang sedari tadi menangis
karena tidak bisa membuka tutup botol air minum. Ada juga di seberang sana,
anak kecil yang sedang berlari senang dan tertawa lebar mengejar balon yang
ditiup dari busa sabun. Yah, mereka adalah mereka dengan apa yang mereka
rasakan. Hmm.. damai sekali rasanya melihat mereka.
Tiba-tiba
saja HP ku bergetar.
“Assalamu’alaikum.
Teteh gimana kabarnya? Hapalannya udah berapa juz teh?”
Sebuah
pesan singkat dari seorang keponakan yang berusia hampir 10 tahun. Aku
tersenyum membacanya. Selalu pertanyaan itu yang ditanyakan. Aku memanggilnya
Eneng. Ia sekolah di sebuah pesantren yang memang sehari-harinya diwajibkan
untuk menghapal Al Quran. Ia selalu bertanya seperti itu, agar aku balik
bertanya sudah berapa juz hapalannya. Dengan nada girang ia sebutkan banyaknya
juz yang sudah ia hapal dan Alhamdulillah selalu bertambah saat pertanyaan itu
dilontarkan. Kadang ia sesekali menelepon saat liburan untuk bermuroja’ah. Cara
bicaranya yang cadel saat mengucapkan huruf ‘R’, membuatku berkali-berkali
memotong bacaannya.
“itu
kan ro berkasroh, dibacanya ri”
“iya
teh, li”
Aku
tertawa sendiri dibalik telepon genggamku.
Tiba-tiba
juga aku teringat Mardhiyah dan Mutaqqin. Mereka adalah anak seorang Ustadz
pemilik kosanku. Mardhiyah yang duduk di kelas 3 SD dan Mutaqqin yang duduk di
kelas 1 SD, selalu mampir ke kamarku saat main ke kosan.
Dengan
sikap yang manis sambil mengetuk pintu dan mengucap salam, mereka hadir dengan
wajah polos menggemaskan.
“Teteh
lagi apa? Pinjem laptop dong..”
Laptopku
yang memang banyak menyimpan games seru, menjadi tujuan mereka main ke kamarku.
Kadang mereka berjam-jam bermain sampai ayahnya memanggil mereka untuk pulang. Saat
berjam-jam itu aku melakukan diskusi dengan mereka. Tentu saja diskusi
anak-anak yang membuatku tertawa, terkejut, bahkan mengernyitkan dahi. Yang
membuatku bangga dengan mereka adalah kebiasaan mereka dalam menunaikan sholat.
Saat itu bedug magrib di masjid samping kosanku berbunyi. Seketika saja, kakak
adik itu menghentikan permainannya dan langsung mengambil air wudhu.
“teteh,
adzan. Kita sholat dulu ya”
“oh,
iya dong..” kataku sambil mengucap Subhanallah.
Selesai
sholat mereka tidak langsung melanjutkan permainan.
“teteh
punya al quran ga? Kata sang kakak, Mardhiyah.
Aku
meminjamkan Alquran terjemahan kepadanya dan kumpulan juz ‘amma kepada Mutaqqin
(kadang Mutaqqin protes “yah kok Juz amma sih..”, “teteh Cuma punya Quran 2,
satu yang kecil buat teteh satu lagi di pake ka Mardhiyah, mutaqqin juz ‘amma
aja ya”. Ia hanya membalas senyum tanpa merengek sekalipun). Setelah selesai
membaca Quran, barulah mereka melanjutkan permainan. Kata mereka, di rumah
selalu seperti itu.
“Mau
lagi ngapain aja, kalau adzan ya harus sholat dulu, terus ngaji”
Hmm..
saat ingat mereka, ada harapan besar untuk menjadikan anak-anak di Indonesia,
bahkan di dunia mendapatkan pendidikan agama islam yang benar. Sholeh dan
sholehah. Selalu sholat 5 waktu, rajin mengaji, dan mencintai Al Quran. Dan
orang-orang dewasalah yang sangat berperan dalam hal ini. Kelak ketika anak
kecil yang sholeh dan sholehah itu dewasa, akan banyak terbentuk orang-orang
dewasa yang sholeh dan sholehah yang dapat berperan kembali membentuk anak
kecil yang sholeh dan sholehah juga. Sehingga hanya orang-orang Mukmin yang
sholeh dan sholehahlah yang ada di dunia ini. Aamiin.. insya Allah.
dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (HR. Bukhori)
dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (HR. Bukhori)
Subhanallah yah bocah2.... :D
BalasHapuskakagh titi, aku masih bocah lhoooo..
BalasHapus