Seorang pujangga cinta pernah
berkata: seni mencintai adalah memberi, bukan menerima, ia adalah berbagi,
tidak egois. Sebuah pengejawantahan di alam jiwa untuk menyempurnakan entitas
murni dari sebuah definisi cinta. Cinta menjalin jiwa-jiwa tulus dalam kelembutan
yang selalu mampu menumbuhkan keterbukaan. Ia akan dengan takzim menyebutkan
kesalahan secara objektivitas. Energi cinta selalu memicu untuk saling
membersamai lalu bergerak dalam ritme yang seirama. Sejatinya, hubungan yang
dilandasi atas dasar cinta, akan bersifat mutualisme. Ia akan saling memberi,
menjaga, dan mempertahankan apa saja yang dicintainya.
Keterlibatan esensi yang menemani
perjalanan panjang selama ini, akan menjadi riak kecil dalam lipatan syaraf
memori. Ia akan tersimpan rapi dalam hipotalamus yang terhubung dengan sistem
syaraf dan sistem endokrin. Bahkan, lebih rapi dari laporan akhir keuangan
organisasi nasional yang dibuat tiga hari tiga malam (-___-!). Karakter dan
perbedaan yang dimiliki, akan mempercantik esensi keterlibatan tersebut.
Bahkan, percayalah nilai setitik yang berada dalam keterlibatan itu akan
ditampilkan di atas kanvas yang lebih lengkap. Tidak kurang, tidak lebih. Maka,
ingin rasanya melukis yang indah-indah saja. Tidak ingin menodai kanvas sendiri
apalagi milik yang lain.
Karakter yang membedakan itulah yang
justru dapat disatukan. Seperti senyawa polar yang akan berikatan dengan
senyawa non polar. Bahkan perbedaan karakter itu kadang bisa tumbuh pada yang
lain, yang pada mulanya tidak ada pada diri masing-masing. Maka, munculah
konsep inokulasi integritas diri secara manual (hallaah!). Seringnya intensitas
pertemuan, kadang bisa memunculkan karakter yang saling melengkapi. Tentu saja
harus bersifat positif. Karena dari situlah cinta melahirkan sebuah misi mulia
yang dibangun atas dasar cinta pada Sang Pemilik Cinta.
Lalu, lantunan doa Sang Imam pun
menjadi penguat dalam setiap erat yang terjaga. Saat mentari masih malu-malu
menampakkan sinarnya. Hingga ia harus rela tenggelam dan bersinar di belahan bumi
yang lain. Wirid pengikat itulah yang bisa jadi mengikat hati-hati yang
berserakan. Melahirkan cinta dan menumbuhkan kelembutan. Karena beratnya beban
yang harus dipikul dan lemahnya kuasa diri. Selalu ingin melantunkan doa
pengikat itu, tak rela ditinggalkan atau meninggalkan.
“Hembuskanlah
dalam lisan, maknai di hati, bayangkan di pikiran, dan hadirkan Allah disetiap
desahnya.” Pesan guru ngaji (semoga Allah merahmatinya) disaat pertemuan kecil
dalam persinggahan ruhiyah.
Ah, ada apa ini? Rasanya seperti
menumbuhkan karakter melankolis, romantis (haha..)
Hmm.. sudah hampir setahun bersama..
Tinggal hitungan bulan..
Kebersamaan yang pernah dirasakan
selama ini, akan selalu dirindukan. Sahabat-sahabat perjuangan. Rindu
berdiskusi. Rindu bertukar kabar. Rindu bergerak bersama, berpikir bersama,
saling menasehati, makan bareng *penting, bahkan rindu duduk bersila di ruang
segi empat berhijab itu. Memperhatikan dengan khusyuk strategi yang
direncanakan (Hasyyaaah!). Menanggapinya dengan keterbatasan cara berpikir,
mencerna lebih dalam hasil yang
disepakati. Kadang yang keras kepala, yang tidak rajin mencatat (uppst!), yang
pernah datang telat, yang mengomel karena tulisan di papan tulis ga jelas
(huffhh..) Dan semuanya terselesaikan dengan kata ‘afwan’. Seolah itu adalah sebuah legitimasi untuk
menyelesaikan semua kesalahan yang ada.
Sahabat,
Jazakumullah khairan katsir
Semoga Allah
selalu membersamai kita dan memberkahi perjuangan yang belum seberapa ini
dibandingkan saudara-saudara kita di Gaza.
Sahabat,
yuk selesaikan amanah ini dengan Khusnul khotimah ^^
Lalu, doa Sang Imam pun ingin selalu
dilantunkan kembali:
Sesungguhnya Engkau tau
Bahwa hati ini tlah berpadu
Berhimpun dalam naungan Cinta-Mu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syari’at dalam kehidupan
Kuatkanlah ikatannya
Kekalkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalanNya
Terangilah dengan cahya-Mu
Yang tiada pernah padam
Ya Robbi bimbinglah kami
………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar