About me

Kamis, 05 April 2012

paradoksal

Beberapa pekan terakhir ini benak saya beradu terhadap kondisi ketidaksinkronan berpikir dengan gejala eksternal pada zona yang tidak konsisten tetapi nyata dalam kehidupan. Mulai dari peristiwa Indonesia tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal). Liberalisme sebuah paham yang menjunjung kebebasan dengan dalih dasar rasionalitas namun nyatanya sama sekali tidak rasional. Sangat tidak rasional.
Ditambah lagi sebuah euforia kenaikan BBM pada sebagian golongan di pemerintahan sana. Berdalih kenaikan BBM ini demi mempertahankan kesejahteraan rakyat dan menstabilkan perekonimian bangsa. Namun nyatanya, berpuluh ribu rakyat Indonesia yang menolak hal ini karena meyakini justru akan menyengsarakan rakyat, sama sekali tidak diindahkan oleh para penguasa di pemerintahan sana.

Lebih ironis lagi
sebuah RUU mengenai Keadilan dan Kesetaraan Gender yang sedang hangat-hangatnya dikaji. Saya kutip salah satu pasal dari draf RUU KKG, gender dipahami sebagai “pembedaan peran dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kosntruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” Pemaknaan bahwa gender merupakan pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki, benar adanya. Tapi coba kita telusuri lebih lanjut jika asal muasal gender dari sebuah konstruksi sosial budaya, yang sifatnya tidak tetap, dan dapat dipertukarkan, itu berarti: perempuan lelaki, lelaki perempuan bisa berubah menurut waktu dan tempat (ya apalah itu namanya). Saya tidak akan membahas pasal-pasal yang terdapat dalam draf RUU KKG sampai berbusa-busa (terlalu panjang).

Tapi, mari kita bicara lebih banyak dan pahami bersama tentang sebuah peran perempuan. Sehingga mengapa kita harus dengan tegas menolak RUU KKG ini.

**Dalam sejarah peradaban Islam, masalah-masalah perempuan merupakan masalah klasik yang umurnya setua manusia itu sendiri. Masalah perempuan bukan merupakan warisan dari perkembangan zaman, revolusi kemanusiaan, bukan pula warisan kebudayaan yang mengalami modifikasi dan reformasi.

Sungguh ironis. ‘Barat’ memang cerdas, sehingga sanggup membungkus berbagai usaha perkosaan terhadap kaum perempuan dengan kedok pembelaan. Ini merupakan bahaya besar yang setiap saat bisa menghancurkan bangunan peradaban Islam. Dengan kemahirannya membuat seorang pencoleng bisa berganti wajah dan penampilan menjadi seorang pembela hak, harkat dan martabat, kepemilikan kaum perempuan, dan pembelaan terhadap kelompok tertindas dari kaum perempuan yang senantiasa diangkat  sebagai dalih dalam menggelindingkan propaganda mereka. Musibah yang lebih besar lagi adalah orang yang mempercayai dan membenarkan usaha tersebut serta mengabsorpsi berbagai ungkapan dan slogan kehancuran sebagai pembelaan kaum perempuan.

Perempuan memiliki hak, selain memiliki kewajiban yang harus ditunaikan dalam kehidupannya di tengah masyarakat manusia. Sumber kewajiban perempuan dalam syariat Islam adalah realitas penghambaan perempuan kepada Allah swt. Dalam Islam, mengutip perkataan DR, Sa’id Ramadhan, kepatuhan manusia terhadap Allah swt merupakan substansi ajaran yang paling tinggi, bahkan termasuk substansi dialektika skala kosmik paling tinggi dan jelas. Kepatuhan kepada Allah swt, antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Catat sekali lagi kalau perlu di bold dan underline, bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam hal kepatuhan kepada Allah swt.

Secara substantif, Allah memberi beban yang sama antara kaum lelaki dan kaum perempuan. Dengan kata lain, setiap lelaki dan perempuan “sama-sama” memiliki kewajiban patuh kepada Allah. Akan tetapi, kewajiban lelaki dan perempuan tentu kontekstual terhadap diferensial gender antara keduanya, baik fisik maupun psikis.

Ada orang bertanya, “Mengapa ada perbedaan taklif (tanggung jawab) antara lelaki dan perempuan? Contohnya, taklif khusus bagi lelaki adalah tanggungan beban ekonomi untuk kehidupan keluarga. Sedangkan contoh taklif khusus bagi perempuan adalah kewajiban mengasuh, merawat, dan mendidik anak dalam keluarga.
**diferensiasi taklif tidak ditimbulkan oleh diferensiasi gender antara lelaki dan perempuan, melainkan karena faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan hikmah dan kemashlahatan sehingga muncul taklif-taklif tersebut.
Kaum lelaki merupakan tonggak utama dalam proses kehidupan ekonomi sebuah rumah tangga dan merupakan sunatullah hingga hari kiamat nanti. Kewajiban ini berdasarkan beberapa konsiderasi dan alasan sosial. Diantaranya – lepas dari berbagai diferensiasi tradisi dan perkembangan peradaban manusia – adalah apabila perempuan dibebani taklif untuk menafkahi keluarga dan menggantikan kedudukan kaum lelaki, niscaya tugas dan fungsi sosial, yaitu merawat dan mendidik anak secara sempurna akan terbengkalai. Sebab kaum lelaki tidak bisa menunaikan tugas tersebut dan tidak mungkin menggantikan kedudukan kaum perempuan.
Begitu juga berlaku dalam kewajiban mendidik dan merawat anak, yang umumnya dibebankan kepada kaum perempuan. Jika kewajiban tersebut dibebankan kepada kaum lelaki, akan berakibat terabaikannya tugas dan tanggung jawab sosial ekonomi. Kaum perempuan tidak mungkin menggantikan kedudukan kaum lelaki dalam menunaikan tugas dan tanggungjawabnya.

Nukilan hadits riwayat Imam Ahmad ini dapat dijadikan argumentasi penguat tentang pandangan tersebut.
Dari Umi Salamah (salah satu Shahabiyah yang saya kagumi karena cara berpikirnya), dia bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, mengapa kaum perempuan tidak disebut-sebut dalam Al Quran, sebagaimana kaum lelaki?” Lalu Allah pun menurunkan ayat-Nya:
“Sesungguhnya lelaki dan perempuan yang Muslim, mukmin, taat, jujur, sabar, khusyuk, bersedekah, berpuasa, memelihara kehormatan mereka, dan banyak menyebut asma Allah, maka Allah telah menyediakan ampunan dan pahala besar bagi mereka” (Al Ahzab: 33-35).

Retorika Barat dalam mengekspos kebebasan demokratisasi dan HAM kaum perempuan sangat mengagumkan, kecuali bagi orang yang sangat kritis, sehingga membutakan orang dan tidak bisa melihat realitas yang ada dan tengah dialami kaum perempuan Barat. Kondisi kaum perempuan Barat sebenarnya sangat menyakitkan, mengoyak harkat dan martabat mereka, serta menghancurkan eksistensi kemanusiaannya. Akan tetapi, indahnya retorika hanya sekedar omong kosong. **Kaum perempuan Barat ternyata menjadi “korban” kekejaman tirani Barat yang dibentuk oleh realitas.

Sebuah realitas bahwa sumber kewajiban kaum perempuan Barat adalah orientasi materialisme. Akibatnya, hak-hak terabaikan dan kewajiban terbengkalai, sehingga timbul kejahatan dan kezaliman. Kaum perempuan Barat, baik seorang gadis maupun seorang istri, dibebani berbagai kewajiban dengan dasar dialektika materialisme dan dituntut dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dengan berbagai cara sesuai kemampuannya. Hal terpenting adalah tujuan pemenuhan kebutuhan materi mereka tercapai. Karena filsafat hidup mereka adalah materialisme, maka orientasi kehidupan mereka juga profit-oriented semata. Mereka hanya berpikir, bagaimana dapat mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, lalu berlayar dalam samudera kenikmatan dan lautan kesenangan sepuas-puasnya.

Siapapun yang memiliki pandangan tajam terhadap realitas kehidupan kaum perempuan di Barat, akan mengetahui bahwa tampilan luar itu merupakan kedok kepalsuan dan topeng kemunafikan masyarakat Barat terhadap kaum perempuan. Di masyarakat Barat, banyak sekali kaum perempuan yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar dan berat yang biasa dilakukan kaum lelaki, sehingga mengubah tabiatnya dari lemah lembut menjadi kasar. Bahkan kaum lelaki sendiri merasa kelelahan mengerjakannya. Kaum perempuan pekerja dikatakan mengabaikan pendidikan anak-anaknya. Jika waktunya tersita habis untuk pekerjaan, maka bagaimana mereka bisa memberikan waktu untuk anak-anaknya? Jika mereka tidak memiliki waktu untuk pendidikan anak-anaknya karena pekerjaan, bukankah berarti mereka telah mengabaikan tugas pendidikan anak-anaknya? Konsekuensinya adalah anak-anaknya akan terbengkalai dalam buaian LPA (Lembaga Penitipan Anak) atau sejenisnya yang menggantikan fungsi dan peran ibu. Akan tetapi, orang-orang bijaksana yang mampu berpikir akan mengetahui bahwa LPA dan sejenisnya tidak bisa menggantikan fungsi dan peran ibu dalam hal apapun. Barat telah menjadikan materi sebagai tujuan hidup dan cita-citanya, sehingga mereka tidak segan-segan mengorbankan apapun termasuk keluarga dan anak-anak.

Dalam aplikasinya, syariat Islam menempatkan kaum lelaki dan perempuan dalam satu kedudukan. Hukum Islam menyentuh setiap individu agar menyadari kewajiban dan menunaikannya dengan penuh keikhlasan. Hukum islam juga menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang mereka terima. Hak-hak ini dijamin dan dilindungi dengan sempurna. Setelah menyentuh individu, lalu menyentuh keluarga. Islam menegaskan bahwa keluarga memiliki kedudukan suci yang harus dijaga dan dipellihara, dengan cara memperkuat rasa tanggung jawab setiap anggotanya, dan mengisinya dengan saling mencintai dan menghormati. Setelah menyeru keluarga, barulah masyarakat. Islam menegaskan bahwa sebuah masyarakat hanya akan terbentuk dari gugusan keluarga. Dibalik perlindungan hukum terhadap individu, keluarga,dan masyarakat, terkandung hak-hak dan kewajiban kaum lelaki dan perempuan dalam syariat Islam dan hukumnya, sebagaimana terkandung juga hak yang diturunkan untuk menjaga kesatuan keluarga dan komunitas manusia. Begitulah Islam mengajarkan kehidupan secara proporsional. Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) sehingga pembahasannya tidak dapat dipisah-pisahkan.

Sangat penting untuk saya, kamu, kita agar peka dan dapat mencerdaskan diri kita pribadi terhadap peristiwa-peristiwa ‘aneh’ yang terjadi di sekeliling kita seperti Liberalisme, kenaikan BBM, dan Feminisme atau peristiwa ‘aneh’ lainnya. Bahwasanya, saya menyadari peristiwa-peristiwa aneh tersebut dilatarbelakangi oleh oknum-oknum yang ingin menghancurkan barisan Islam. Allahu’alam bishawab.

**dikutip dari sebuah buku DR. M. Sa’id Ramadhan Al Buthi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar