Wajahnya telah dipenuhi kerut merut. Namun, wajah itu tetap menggambarkan kedamaian dan keramahan meskipun sedang dalam keadaan sakit. Hal tersebut tepat seperti yang digambarkan teman saya yang mengenalkan saya padanya. Dia tidak mau diam meski serangan stroke membatasi geraknya...berjalan-jalan, mengerjakan pekerjaan rumah, dan melakukan apapun yang bisa beliau lakukan. Memang, kata teman saya, sebelum mendapat serangan tersebut, beliau adalah seorang yang energik dan aktif mengikuti berbagai kegiatan, khususnya pengajian, termasuk yang di luar kota. Hijabnya yang rapi menutup sekujur tubuhnya yang segar, membuktikan semua itu.
Perempuan itu biasa dipanggil Bu Ros. Usianya sekitar 65 tahun.
Asli Minang. Beliau hidup sendiri di Jakarta karena suaminya sudah meninggal. Sementara itu, Allah tidak mengaruniai seorang pun putra. Untuk menopang kehidupannya, beliau menjadikan rumahnya sebagai tempat kos bagi para mahasiswa sebuah kampus di wilayah itu.
Hari itu, semua penghuni kos sedang pergi, maklum sedang libur semester. Seperti biasa, Ibu Ros sendirian di rumah. Namun, karena ada urusan, beliau pergi ke rumah saudaranya dan baru pulang saat malam menjelang. Belai sangat terkejut saat menemukan jendela dalam keadaan terbuka. Ketika diperiksa, kondisi rumah sudah berantakan dan beberapa barangnya hilang. Rupanya maling telah mengobok-kobok rumahnya.
Melihat kondisi yang mengejutkan itu, penyakit darah tinggi Ibu Ris pun kambuh dan beliau terkena stroke. Ia terpaksa dirawat beberapa hari di rumah sakit. Alhamdulillah kondisi beliau tidak terlalu parah hingga beberapa hari kemudian sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Setelah itu, untuk sementara, beliau tinggal di rumah keponakannya.
Sebagaimana penderita stroke lainnya, kondisi Ibu Ros tidak biosa pulih seperti sebelumnya. Lidahnya sulit digerakkan untuk mengucapkan sebuah kalimat secara sempurna. Demikian juga dengan jari jemarinya. Hal itu membuatnya sangat berduka. Namun, belaiu tetap berusaha keras untuk bisa sembuh kembali.
Saat beliau tengah berduka itulah, teman saya mengenalkan saya padanya. "Beliau butuh teman yang bisa mengerti," begitu ungkap teman saya. Sejak itulah saya berhubungan dengan beliau. Beberapa kali kami bertemu, tapi lebih sering berkomunikasi via telepon. Ketika ngobrol saat saya mengunjunginya atau melalui telepon, beliau berusaha agar kata-kata yang diucapkannya dapat saya dengar dengan jelas. "Sekalian berlatih," katanya. Beliau juga banyak bercerita tentang berbagai upaya yang ditempuhnya untuk bisa segera sembuh...terapi akupuntur, berobat ke beberapa dokter ahli, hingga minum jamu.
Apapun beliau lakukan agar bisa sembuh. Terapi fisik seperti jalan-jalan setiap pagi pun dilakuakan, meskipun tubuh beliau lemah. Beliau juga makin banyak berdzikir dan tilawah Al Quran untuk emngisi waktu selama masa penyembuhan, sekaligus sebagai sarana terapi.
Suatu hari, saya menemani beliau mengunjungi rumah yang telah sebulan ditinggalkannya. Kami berbincang lebih banyak. Salah satunya keinginan dan uahanya yang sedemikian keras untuk bisa pulih kembali.
"Saya sudah tua. Cuma mulut,lidah, dan jari-jari ini modal untuk ibadah," ungkapnya dengan cadel, "mulut untuk senyum,juga untuk ngaji dan ngisi pngajian. Lidah untuk baca Quran dengan tartil. Sejak kena stroke, mulut, lidah, dan jari-jari saya sudah susah digerakkan gini. Jadinya, sekarang saya sulit senyum. Baca Qur'an juga susah. Bahkan dzikir pun nggak bisa lagi ngitung pake jari," beliau menambahkan tanpa bermaksud mengeluh. "Makanya saya pengen segera sembuh. Saya harus latihan terus supaya lancar baca Quran, dzikir, dan dapat tersenyum lagi. Ngaji dan ngisi pengajian lagi buat bekal mati. Ya, nggak? katanya pada saya sambil berusaha tersenyum. Saya hanya tersenyum dan mengangguk, sambil mencerna kalimat-kalimatnya yang kuarng jelas lafalnya.
Uraiannya menohok perasaan saya. Di saat masih muda dan sempurna, kita tidak tergerak untuk memperbaiki bacaan Al Quran, bahakan sekedar membaca saja malas. Sementara itu ada seorang perempuan tua yang dengan segala keterbatasannya bersungguh-sungguh untuk membaca Al Quran dengan baik dan benar. Saat kita yang sehat sulit tersenyum pada sesama dan enggan bertutur kata hikmah, sorang lanjut usia yang tak lagi sempurna begitu keras ingin menjalankannya.
Tiga tahun lebih berlalu sejak terakhir kali saya berkomunikasi dengan beliau. Kata teman saya, belaiu masih sehat dan seaktif dulu. Pun uraian panjang itu masih saya kenang dan hayati hingga kini, sebagai pengingat kala saya lelah untuk tilawah dan capek memperbaiki bacaan; sebagai pendorong kala saya kehilangan senyum; sebagai penyokong saat saya lupa untuk bertutur hikmah dan malas bertausyiah.
_Azimah Rahayu_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar